Ringkasan Buku “Knowing God”

Posted on Posted in Bacaan Rohani

Penulis: J.I. Packer

Bab 5: Allah Berinkarnasi

Banyak orang-orang pemikir merasa bahwa Injil Yesus Kristus sulit dipercayai, sebab realitas yang dibicarakan melampaui pemahaman kita. Misalnya masalah penebusan, hal kebangkitan, masalah kelahiran dari seorang perawan, masalah mukjizat dalam Injil, dll. Dengan masalah-masalah tersebut dan masalah lain yang serupa membuat banyak orang yang merasa bingung akan iman mereka hari-hari ini. Namun, menurut penulis, semua masalah itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kesulitan terbesar dan misteri utama yang diperhadapkan Alkitab kepada kita, yaitu pesan inkarnasi pada hari Natal. Di dalam peristiwa yang terjadi pada hari Natal pertama inilah, kedalaman pewahyuan Kristen yang terdalam dan yang paling tidak terduga didasarkan. Menurut Penulis, biasanya dari keyakinan yang salah dan kurang memadai tentang inkarnasi itulah muncul kesulitan-kesulitan pada poin-poin lain dalam kisah Injil. Sebaliknya, jika inkarnasi dipegang sebagai suatu realitas, kesulitan lain akan hilang. Inkarnasi itu sendiri merupakan misteri yang tidak terduga, tetapi memberi arti bagi semua hal lain dalam Perjanjian Baru.

            Injil Matius dan Lukas memberi tahu kita secara terperinci bagaimana Anak Allah datang ke dunia. Penulis Injil mengisahkan cerita kedatangan Anak Allah ke dalam dunia bukan untuk menarik pelajaran moral. Bagi penulis Injil, poin kisah Natal itu terletak pada identitas bayi yang lahir pada Natal pertama itu. Perjanjian Baru menyampaikan dua pemikiran tentang identitas bayi ini. Pertama, bayi yang dilahirkan di Betlehem itu adalah Allah. Alkitab membahasakannya sebagai Anak Allah, dan teologi membahasakannya Allah Anak. Injil Yohanes menggambarkan Yesus sebagai Anak Allah sepanjang Injilnya. Namun Yohanes sama sekali tidak memasukkan istilah “Anak” dalam kalimat pembuka Injilnya, melainkan ia menggunakan istilah “Firman”. Ada tujuh hal tentang firman Allah yang Yohanes tuliskan dalam Injilnya: (i) “Pada mulanya adalah Firman”, (ii) “Firman itu bersama-sama dengan Allah”, (iii) “Dan Firman itu adalah Allah”, (iv) “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia”, (v) “Dalam Dia ada hidup”, (vi) “Dan hidup itu adalah terang manusia”, (vii) “Firman itu telah menjadi manusia”. Jadi, bayi yang ada di palungan pada Natal pertama adalah Allah. Kedua, bayi yang dilahirkan di Betlehem adalah Allah yang menjadi manusia. Firman itu telah menjadi daging; seorang bayi manusia sungguhan. Ia tidak berhenti sebagai Allah, tetapi Ia telah mulai menjadi manusia dalam bayi kecil. Menurut penulis, misteri Inkarnasi ini tidak dapat dipahami sepenuhnya. Kita hanya bisa menjelaskan hal itu dan merumuskannya. Seorang teolog, Charles Wesley berkata “Allah kita yang membatasi diri-Nya pada jangka waktu tertentu; Menjadi manusia secara tidak terpahami”.

            Perjanjian Baru tidak bermaksud membingungkan kita dengan hal jasmani dan psikologis tentang kisah inkarnasi, namun kisah ini seharusnya mendorong kita untuk menyembah Allah karena telah menyatakan kasih-Nya kepada kita, karena Inkarnasi merupakan tindakan merendahkan diri sendiri dan merendahkan hati. Bukan hanya itu, dalam rupa manusia itu juga, Anak Allah taat sampai mati untuk keselamatan kita. Inilah bagian dari fokus penting dari inkarnasi. Arti penting palungan di Betlehem terletak pada posisinya dalam urutan menurun yang menuntun Anak Allah ke salib Golgota. Di sinilah kita seharusnya memandang inkarnasi dengan benar, yaitu sebagai keajaiban kasih karunia dari Allah kepada manusia.

            Dalam Filipi 2:7, ada frasa yang perlu dibahas oleh penulis tentang inkarnasi, yaitu “mengosongkan diri-Nya sendiri”. Inilah yang dinamakan teori kenosis. Kenosis adalah kata Yunani untuk “mengosongkan diri”. Gagasan dibalik istilah ini berarti untuk menjadi manusia seutuhnya Anak harus meninggalkan beberapa kualitas ke-Allah-an-Nya. Jika tidak, Ia tidak dapat ikut merasakan pengalaman keterbatasan di dalam ruang, waktu, pengetahuan dan kesadaran, yang merupakan hal esensial dalam kehidupan manusia yang sejati. Kita harus berhati-hati dengan teori kenosis ini. Penulis mengajak kita untuk kembali melihat apa maksud Paulus dalam Filipi 2:7 ini. Ketika Paulus berbicara tentang Anak yang telah mengosongkan diri-Nya dan menjadi miskin, yang ada dalam pikirannya bukanlah mengesampingkan kuasa dan atribut ilahi, melainkan mengesampingkan kemuliaan dan kejayaan ilahi-Nya. Tidak ada dukungan Alkitab terhadap gagasan bahwa Anak menghilangkan semua aspek keilahian-Nya. Perjanjian Baru tampak jelas dan tegas dalam menyatakan kemahakuasaan dan kemahahadiran serta kemahatahuan Kristus yang telah bangkit. Kesan yang ditimbulkan dari penjelasan keempat Injil bukan keilahian Kristus berkurang, melainkan kapasitas ilahi-Nya dibatasi. Pembatasan ini merupakan penundukan diri sepenuhnya sang Anak kepada kehendak Bapa.

            Dalam Injil, Anak bukan merupakan Pribadi yang independen, melainkan Pribadi yang dependen, yang hanya berpikir dan bertindak sebagaimana diperintahkan Bapa. Mengakui otoritas dan tunduk pada kehendak Pribadi pertama adalah sifat Pribadi kedua dari Tritunggal. Sekalipun sejajar dengan Bapa dalam hal kekekalan, kekuasaan, dan kemuliaan merupakan hal yang alamiah bagi Dia untuk memainkan peranan sebagai Anak, dan menemukan sukacita-Nya sepenuhnya dalam melakukan kehendak Bapa. Jadi, ketaatan Anak Allah kepada Bapa pada waktu Ia ada di bumi bukanlah relasi yang baru terbentuk melalui inkarnasi, melainkan kelanjutan hubungan antara Anak dan Bapa sejak kekekalan di surga. Meskipun Ia dapat berbuat apapun dalam kemahakuasaan-Nya, namun Dia hanya mengerjakan apa yang menjadi kehendak Bapa. Karena kehendak Anak tidak pernah bertentangan dengan kehendak Bapa, begitu juga sebaliknya. Salah satu contohnya, alasan mengapa Ia tidak tahu tanggal kedatangan-Nya bukan karena Ia memang tidak tahu apa-apa, melainkan karena Bapa tidak menghendaki agar Ia memiliki sepotong pengetahuan khusus ini sebelum masa kesengsaraan-Nya. Keterbatasan pengetahuan-Nya harus dijelaskan dengan referensi pada kehendak Bapa bagi Anak pada waktu Ia ada di bumi.

            Jadi, frasa “Anak Allah mengosongkan diri-Nya dan menjadi miskin” memiliki pengertian mengesampingkan kemuliaan-Nya; pembatasan kuasa secara sukarela, penerimaan kesukaran, pengasingan, perlakuan buruk, kebencian, dan kesalahpahaman; kematian yang melibatkan penderitaan yang luar biasa. Frasa ini juga memiliki arti kasih tertinggi untuk manusia yang tidak layak dikasihi. Demi kita Ia bersedia menjadi miskin pada hari natal pertama. Dengan pengertian ini, kita seharusnya malu karena banyak orang Kristen yang hidup hari ini seperti Imam dan Lewi dalam perumpamaan Tuhan Yesus, yang menyadari kebutuhan manusia sekitarnya, tetapi kemudian memalingkan muka dan berjalan lewat di seberang jalan. Semangat Natal tidak bersinar melalui orang Kristen yang suka membanggakan diri, tetapi melalui orang yang menjalani hidup dengan prinsip menjadikan diri sendiri miskin untuk memperkaya sesamanya, memberikan waktu, usaha, perhatian, dan tenaga, untuk melakukan kebaikan kepada orang lain yang membutuhkan. Jika Allah dalam kemurahan-Nya mau membangkitkan kita, maka salah satu hal yang Ia akan lakukan adalah menanamkan semangat ini dalam hati dan hidup kita. Jika kita ingin mengalami kebangunan rohani untuk diri sendiri secara individu, maka kita harus berusaha mengembangkan semangat ini.

~~~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *